Satu per satu kubuka bungkusan indah,
Yang tersusun rapi dibawah pohon cemara cantik disudut
ruangan.
“Kain batik tulis dari Solo!”
Senyumku pun terkembang sambil membayangkan sosok pemberi
kado.
“Terima kasih, Pakdhe,” sebutku dalam hati.
Kotak kedua pun kubuka.
Kukeluarkan porselin cantik yang tampak mahal.
“Tante pasti membeli ini dari Singapura!”
Bungkus demi bungkus kado pun mulai teronggok tinggi:
Anting, jam tangan, CD, buku, make up…
Senyumku pun makin melebar.
Pastilah aku ini sosok yang disayang.
Betapa semua orang memperhatikanku!
Bahagianya aku!
Mendadak aku merasa gamang.
Benarkah aku bahagia?
Berapa lama anting dan jam tangan baru dapat kubanggakan?
Sejam…sehari…sebulan?
Berapa lama make up bertahan membuatku cantik?
Tiga jam…lima jam…sepuluh jam?
Apakah yang sesaat ini mampu membuatku bahagia?
Kenapa aku tidak benar-benar bahagia?
Kenapa semua kado ini tidak cukup mengusir kuatirku…
Akan masa depanku?
Atau sekedar apa yang akan ku
makan esok hari?
Kenapa aku gelisah, resah, dan tidak berdaya dengan semua
yang kupunya?
Kenapa cinta dan perhatian sanak saudara dan teman terasa
tidak cukup?
Kenapa aku tidak bahagia dengan diriku sendiri?
Lalu kuingat perayaan Natal penduduk desa miskin dikaki
bukit.
Terlihat jelas sukacita ditiap wajah saat menyanyikan kidung
Natal.
Ada pengharapan ditiap hati kala kisah Natal diperdengarkan.
Apakah yang mereka punyai tapi aku tidak miliki?
Mungkinkah itu Natal yang sebenarnya?
Bukan kado yang berisi banyak benda.
Bukan baju pesta yang cantik.
Bukan jejeran toples penuh kue.
Ya…bukan itu semua!
Aku seharusnya menyadarinya dari lama.
Ampunilah aku, Yesus.
[04-051213]
No comments:
Post a Comment